Bolehkah Suami Memakan Gaji Isteri?
BOLEHKAH SUAMI MEMAKAN GAJI ISTERI?
Gaji atau pendapatan milik isteri, yang ia peroleh dari kerjanya, dapat berpengaruh positif maupun negatif dalam kehidupan rumah tangga. Artinya, pendapatan tersebut bisa lebih menguatkan sendi-sendi keluarga, atau sebaliknya justru menghancurkannya. Ikatan suami-isteri itu menjadi kuat, atau justru merenggangkannya.
Kadang, karena isteri merasa memiliki pendapatan sendiri, ia berlaku hidup boros, dengan membelanjakan hasil pendapatannya untuk membeli keperluan pribadi yang diinginkannya. Tetapi juga bisa menempanya menjadi wanita yang hemat, dan lebih bijak dalam mengolah income pribadinya, ia lantaran mengetahui betapa berat dan susahnya mencari nafkah.
Yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah uang itu milik isteri semata, hingga tidak ada hak bagi suaminya untuk menikmatinya. Ataukah termasuk milik bersama-sama dengan suaminya. Kapan saja suami membutuhkan, ia dapat saja memakainya. Inilah tanda tanya yang muncul atas gaji atau pendapatan isteri.
Permasalahan timbul seiring dengan perjalanan hari, kian pelik dan kompleks. Seorang isteri yang mendapatkan uang (pendapatan) melalui aktifitas kerja (yang sesuai dengan kodratnya), kemudian adanya pemandangan yang berlawanan, yaitu suami yang memanfaatkan incomenya. Bisa jadi, sebagai suami ia hanya memperoleh pendapatan yang sesedikit, atau memang ia tidak bekerja. Bagaimana hukumnya dalam Islam? Menjawab perkara-perkara di atas, berikut adalah pembahasan yang akan mengantarkan menuju titik kejelasannya.
DALAM ISLAM, WANITA DIHORMATI
Hendaknya wanita muslimah bergembira dengan perlakuan Islam kepadanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengistimewakan wanita saat beliau menyampaikan pesan agung pada waktu haji Wada’. Subtsansinya, memenuhi hak-hak wanita, perintah mencurahkan kebaikan kepada wanita dan memperlakukan dalam pergaulan dengannya secara baik, sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi pesan di kesempatan lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ
“Bertakwalah kalian dalam (memperlakukan) terhadap wanita“. [HR Muslim, 1218].
Dalam Shahihain, dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
“Hendaklah kalian memperhatikan kaum wanita dengan baik“. [HR al Bukhari, 3331 dan Musim, 1468].
Oleh karenanya, seorang wanita harus memahami, di bawah naungan Islam, ia bakal hidup dalam kemuliaan lagi berharga, penuh perlindungan dan memperoleh hak-haknya, sebagaimana telah ditetapkan Allah baginya. Kondisi ini berbeda dengan wanita pada masa Jahiliyah.[1]
NAFKAH MERUPAKAN KEWAJIBAN SUAMI[2]
Pada dasarnya, wanita (perempuan), ia merupakan bagian masyarakat yang dijamin kehidupannya sepanjang fase usianya. Baik ia sebagai anak, isteri, ibu atau saudara perempuan. Kaum lelaki dari keluarganyalah yang bertanggung jawab atas kehidupannya. Wanita tidak wajib untuk menanggung nafkah keluarga.
Bila wanita sudah berkeluarga, maka kebutuhan dan keperluan rumah serta anak-anaknya menjadi tanggung jawab sang suaminya. Ini merupakan salah satu bentuk penghormatan Islam terhadap kaum wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَآأَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum lelaki) atas sebagian yang lain (kaum wanita), dan karena mereka (kaum lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka“. [an Nisaa`/4 : 34].
Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, sudah menjadi Ijma’ ulama, ayah (suami)lah yang menafkahi anak-anak, tanpa dibarengi oleh ibu (isteri).[3]
MAHAR ADALAH MILIK WANITA
Mahar termasuk hak harta bagi seorang isteri, sehingga harus benar-benar diterima olehnya. Tidak ada orang yang lebih berhak dalam harta ini selain wanita. Syariat Islam telah menjamin kepemilikan mahar bagi wanita melalui beberapa aturan.
1. Syariat Melarang Penghapusan Mahar Dalam Pernikahan.
Mahar tidak boleh dimaafkan dan digugurkan pada awal pernikahan. Al Qurthubi, Ibnu Qudamah dan ulama lainnya telah mengutip adanya Ijma’ tentang wajibnya mahar dalam pernikahan[4]. Apabila kedua belah pihak sepakat untuk menghilangkan mahar, maka masih wajib ditetapkan nilai mahar wanita semisalnya.
2. Wanita Boleh Menolak Untuk Menyerahkan Dirinya Kepada Suami, Sampai Mahar Ia Terima (Mahar Yang Berbentuk Utang Tidak Tunai).
Mahar menjadi hak wanita usai akad nikah. Saat itulah ia berhak memintanya. Tidak menutup kemungkinan mahar tidak berbentuk tunai. Atau sebagiannya masih hutang. Syariat menjamin hak ini bagi wanita dengan memperbolehkannya untuk menolak menyerahkan diri kepada suami, atau pindah ke rumah suami dan bepergian bersamanya, sampai ia menggengam maharnya.[5]
3. Mahar Yang Rusak Di Tangan Suami Sebelum Diserahkan Menjadi Tanggungan Suami.
Secara umum, para fuqaha telah sepakat, suami bertanggung jawab terhadap mahar yang hilang di tangannya. Suami wajib mengganti bila ada gantinya, atau menukarnya dengan nilainya, bila tidak ada gantinya.[6]
4. Wanita Berhak Memiliki Mahar Secara Utuh Ketika Suaminya Meninggal Setelah Akad, Meskipun Belum ‘Disentuh’. Dan Wajib Diserahkan Setelah Terjadi Jima’.
Jika suami belum sempat berjima dan ia meninggal terlebih dahulu, maka wanita tetap berhak atas mahar melalui akad nikah yang telah dilaksanakan. Mahar bukan berarti batal (tidak diserahkan). Ini lantaran kondisi suami yang tidak memungkinkan untuk berhubungan badan dengan isterinya (karena ia meninggal), dan bukan dari sisi isteri, sehingga isteri berhak atas mahar secara penuh. Mahar akan menjadi hutang dalam tanggungan suami, sehingga harus dibayarkan kepada isteri, tidak gugur lantaran kematian. Hutang mahar, statusnya sama dengan hutang lainnya, ia tidak menjadi lunas karena kematian.
Para fuqaha telah menyepakati kepemilikan mahar yang disebutkan (dalam akad) secara utuh bagi isteri dengan kematian suaminya, atau mahar (wanita) semisalnya saat tidak disebutkan (dalam aqad), dengan menjadikan kematian (suaminya) sebagai faktor penegas penyerahan mahar.[7]
HASIL KERJA ISTERI, 100 % MILIKNYA
Melalui keterangan tentang mahar yang menjadi hak milik penuh isteri, yang harus ia terima dari suaminya, jawaban tentang pertanyaan di awal tulisan ini sebenarnya sudah tersibak. Kalau dalam mahar, dalam kondisi apapun, isteri akan memperolehnya, apalagi uang yang merupakan hasil dari jerih-payahnya.
Oleh karena itu, gaji, pendapatan, atau uang milik isteri yang didapatkannya dari jalan yang diperbolehkan syariat, secara penuh menjadi hak milik isteri. Sang suami, ia tidak mempunyai hak sedikit pun dari harta tersebut. Kelemahan fisik atau statusnya sebagai isteri, tidak berarti boleh “merampas” hak miliknya, atau memanfaatkan menurut kemauannya.
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdur Rahman al Jibrin pernah ditanya tentang hukum suami yang mengambil uang (harta) milik isterinya[8], untuk digabungkan dengan uangnya (suami). Menjawab pertanyaan seperti ini, Syaikh al Jibrin mengatakan, tidak disangsikan lagi, isteri lebih berhak dengan mahar dan harta yang ia miliki, baik melalui usaha yang ia lakukan, hibah, warisan, dan lain sebagainya. Itu merupakan hartanya, dan menjadi miliknya. Dia yang paling berhak untuk melakukan apa saja dengan hartanya itu, tanpa ada campur tangan pihak lainnya.[9]
BOLEH DIMANFAATKAN, DENGAN SYARAT
Uang atau harta isteri adalah milik pribadinya, sehingga perlakuannya sama seperti halnya kepunyaan orang lain, tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan keridhaan dan kerelaannya. Bila ia telah memberikan keridhaan bagi suaminya pada sebagian yang ia miliki atau semuanya, maka boleh saja dan menjadi halal bagi suaminya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَءَاتُوا النِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya“. [an Nisaa`/4 : 4].
Ayat di atas, adalah ditujukan kepada para suami, bukan kepada para wali wanita. Inilah pendapat yang shahih.[10]
Syaikh ‘Abdur Rahman as Sa’di di dalam tafsirnya menuliskan, ketika banyak orang (suami, Pen.) berbuat aniaya kepada kaum wanita dan merampas hak-hak mereka -terutama mas kawin- yang berjumlah banyak dan diserahkan sekaligus, dirasakan berat untuk diberikan kepada isteri, maka Allah memerintahkan para suami untuk tetap memberikan mahar kepada isteri.
Apabila para isteri mengizinkan bagi kalian (para suami) dengan ridha dan kerelaan, yaitu menggugurkan sebagian darinya, atau menunda, atau diganti dengan yang lain, maka tidak masalah bagi kalian (para suami).
Dalam ayat ini terdapat dalil, bahwa wanita mempunyai wewenang dalam pengelolaan terhadap hartanya -meskipun dengan menyedekahkannya- apabila ia sudah berpikir dewasa. Jika belum demikian (belum bisa bepikir secara dewasa, Pen.) maka pemberiannya tidak ada dampak hukumnya, dan bagi walinya, tidak ada hak sedikit pun atas mahar yang dimilikinya.[11]
Penegasan tentang terpeliharanya harta (dan darah serta kehormatan), juga telah disampaikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam momen yang sangat istimewa, yaitu pada haji Wada’. Menjadikan kedudukan harta laksana kehormatan hari raya Idul Adh-ha, bulan Dzul Hijjah dan kota Mekkah.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, pada asalnya, darah, harta dan kehormatan kaum Muslimin diharamkan untuk direbut oleh sebagian yang lain. Tidak halal, kecuali dengan izin Allah dan RasulNya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian, haram atas kalian seperti kehormatan hari ini, tempat ini dan di bulan ini“. [HR al Bukhari, 1741, dan Muslim, 1679, dari Abu Bakrah].
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Setiap muslim terhadap muslim (lainnya) haram darahnya, hartanya dan kehormatannya“. [HR Muslim dari Abu Hurairah].[12]
Ada pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh Bin Baz. Isi pertanyaannya : “Saya telah menikahi seorang guru. Apakah saya berhak mengambil dari gajinya dengan ridhanya untuk suatu kebutuhan dan keperluan berdua, misalnya membangun rumah?”
Beliau menjawab : Tidak masalah bagimu untuk mengambil gaji isterimu atas dasar ridhanya, jika ia seorang wanita rasyidah (berakal sehat). Begitu pula segala sesuatu yang ia berikan kepadamu untuk membantu dirimu, tidak masalah, bila engkau pergunakan. Dengan catatan, ia rela dan dewasa. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
“Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya“. [an Nisaa`/4 : 4].[13]
Dia tidak boleh beranggapan hasil jerih-payah isteri bisa dipakai sesuka hatinya. Jika tidak, ia telah memakan harta orang lain dengan cara yang tidak sah.
TOLERANSI DAN EMPATI ANTARA SUAMI ISTERI
Idealnya, antara suami dan isteri terjalin kasih-sayang dan empati timbal-balik. Hubungan mesra mereka, sepantasnya tidak tergantung pada uang. Karena, harga kemesraan dan keutuhan keluarga tidak bisa diukur dengan uang. Kerjasama dan saling mendukung antara suami dan isteri harus tetap terjaga.
Apabila seorang suami berkecukupan, seyogyanya ia tidak mengambil milik isteri. Begitu pun sebaliknya, isteri yang berpenghasilan, sementara suaminya masih dalam kondisi ekonomi yang kurang, disyariatkan baginya untuk membantu suami, memberikan bantuan apa yang ia mampu untuk menopang kehidupan keluarga dengan jiwa yang ridha. Betapa indahnya, apabila seorang isteri bisa melakukan sebagaimana yang diperbuat Zainab, isteri Ibnu Mas’ud, dan bertindak seperti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.
Al Bukhari meriwayatkan hadits Abu Sa’id Radhiyallahu ‘anhu dalam Shahihnya, ia berkata:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ رضي الله عنه : …جَاءَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ تَسْتَأْذِنُ عَلَيْهِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ زَيْنَبُ فَقَالَ أَيُّ الزَّيَانِبِ فَقِيلَ امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ نَعَمْ ائْذَنُوا لَهَا فَأُذِنَ لَهَا قَالَتْ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّكَ أَمَرْتَ الْيَوْمَ بِالصَّدَقَةِ وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ فَزَعَمَ ابْنُ مَسْعُودٍ أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ
“Dari Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu anhu : … Zainab, isteri Ibnu Mas’ud datang meminta izin untuk bertemu. Ada yang memberitahu: “Wahai Rasulullah, ini adalah Zainab,” beliau bertanya,”Zainab yang mana?” Maka ada yang menjawab: “(Zainab) isteri Ibnu Mas’ud,” beliau menjawab,”Baiklah. Izinkanlah dirinya,” maka ia (Zainab) berkata: “Wahai, Nabi Allah. Hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah. Sedangkan aku mempunyai perhiasan dan ingin bersedekah. Namun Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa dirinya dan anaknya lebih berhak menerima sedekahku,” Nabi bersabda,”Ibnu Mas’ud berkata benar. Suami dan anakmu lebih berhak menerima sedekahmu.” Dalam lafazh lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam menambahkan:
نَعَمْ لَهَا أَجْرَانِ أَجْرُ الْقَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ
“Benar, ia mendapatkan dua pahala, pahala menjalin tali kekerabatan dan pahala sedekah.”
Penempatan hadits di atas oleh al Bukhari dalam (Bab zakat terhadap kaum kerabat, bab zakat kepada suami dan anak-anak yatim yang berada dalam pengawasannya), menunjukkan hal itu mencakup zakat yang wajib maupun yang bersifat tathawwu’ (sukarela). Mayoritas ulama berpendapat, zakat yang wajib tidak boleh diserahkan kepada orang yang nafkah hidupnya menjadi kewajiban muzakki (yang berkewajiban membayar zakat). Dan tidak ada keraguan lagi, bahwa nafkah suami bukan kewajiban isteri, maka ia boleh memberikan zakatnya kepada suaminya, tetapi tidak sebaliknya. Oleh karena itu, suami tidak boleh menyerahkan zakatnya kepada isterinya. Adapun anak-anak, nafkah mereka menjadi tanggungan ayah mereka, bukan pada ibu mereka, selama sang ayah masih ada.
Syaikh Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd mengatakan, pelajaran dari hadits di atas :
1. Diperbolehkan bagi wanita bersedekah untuk suaminya yang miskin.
2. Suami adalah orang yang paling utama untuk menerima sedekah dari isterinya dibandingkan dengan orang lain.
3. Isteri diperbolehkan bersedekah untuk anak-anaknya dan kaum kerabatnya yang tidak menjadi tanggungannya.
4. Sedekah isteri tersebut termasuk bentuk sedekah yang paling utama.[14]
Dalam masalah sedekah kepada suami, terdapat sebuah teladan monumental telah dipahat oleh Ummul Mukminin Khadijah. Yaitu beliau membantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jiwa, raga dan benda. Sungguh sebuah peranan yang besar seorang isteri bagi suaminya.
Oleh karena itu, layak untuk diperhatikan oleh seorang isteri. Bahwa isteri yang baik, mengelola uang dan harta milik pribadinya secara bijak, membelanjakan pada pos-pos yang bermanfaat bagi dirinya di dunia dan akhirat, tidak berbuat boros yang hanya akan mendatangkan kerugian baginya saja.
Wallahu a’lam. Washallallahu ‘ala Muhammad wa ‘ala Alihi wa Shahbihi ajma’in.
Referensi :
– Dhamanatu Huquqi al Mar`ah az Zaujiyyah, karya Dr. Muhammad bin Ya’qub ad Dahlawi, ‘Imadah al Bahtsi al ‘Ilmi Jami’ah Islamiyyah Madinah, Cet. I, Th. 1424 H.
– Fatawa al Mar`ah al Muslimah, susunan Abu Muhammad Asyraf bin ‘Abdul Maqshud, Adhwau as Salaf, Riyadh, Cet. III, Th. 1417 H.
– Fiqhu al Islam Syarhu Bulugh al Maram, karya Abdl Qadir bin Syaibah al Hamd, tanpa tahun.
– Khuthabu wa Mawa’izhu min Hajjati al Wada`, Prof. Dr. ‘Abdur Razaq bin ‘Abdul Muhsin al Badr, Cet. I, Th. 1426 H.
– Taisiru al Karimi ar Rahman fi Tafsiri Kalami al Mannan, karya ‘Abdur Rahman as Sa’id, Dar al Mughni, Riyadh, Cet. I, Th. 1419 H, dan lain-lain.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Khuthab wa Mawa’izh fi Hajjati al Wada`, hlm. 30-31.
[2]. Lebih lanjut tentang kewajiban nafkah atas suami beserta dalil-dalilnya, silahkan lihat di almanhaj http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0
[3]. Zaadul Ma’ad (5/448).
[4]. Al Jami’u li Ahkami al Qur`an, 5/17; al Mughni, 10/97. Dinukil dari Dhamanatu Huquqi al Mar`ah az Zaujiyyah, hlm. 101.
[5]. Bada’iu ash Shanai’, 2/288-289; al Fatawa al Hindiyah, 1/317; al Qawaninu al Fiqhiyah, hlm. 43; Mughni al Muhtaj, 3/222; Kasysyafu al Qanna’, 5/140, dan seterusnya. Dinukil dari Dhamanatu Huquqi al Mar`ah az Zaujiyyah, hlm. 102.
[6]. Syarhu Muntaha al Iradat, 3/68; Mughni al Muhtaj, 3/221; Hasyiatu ad Dasuqi ‘ala asy Syarhi al Kabir, 2/2295. Dinukil dari Dhamanatu Huquqi al Mar`ah az Zaujiyyah, hlm. 105.
[7]. Bada’iu ash Shanai’, 2/288-289; al Fatawa al Hindiyah, 1/317; al Qawaninu al Fiqhiyah, hlm. 43; Mughni al Muhtaj, 3/222; Kasysyafu al Qanna’, 5/140, dan seterusnya. Dinukil dari Dhamanatu Huquqi al Mar`ah az Zaujiyyah, hlm. 102.
[8]. Pengertian uang disini bersifat umum, bisa berasal dari gaji, hasil pemberian, warisan atau lainnya, Pen.).
[9]. Fatawa al Mar’ah, hlm. 105. Kutipan dari Fatawa al Mar`ah al Muslimah, hlm. 674-675.
[10]. Lihat Jami’u al Bayani ‘an Ta`wili ayi al Qur`an, 2/303; Ahkami al Qur`an, karya Ibnul ‘Arabi, 1/369; al Jami’u li Ahkami al Qur`an, karya al Qurthubi, 5/26. [11]. Taisiru al Karimi ar Rahman fi Tafsiri Kalami al Mannan, hlm. 149.
[12]. Al Majmu’ al Fatawa, 3/283. Dinukil dari Khuthab wa Mawa’izh fi Hajjati al Wada’, hlm. 38.
[13]. Al Fatawa, Kitab ad Da’wah, 2/217. Dikutip dari Fatawa al Mar`ah al Muslimah, hlm. 672-673.
[14]. Penjelasan hadits dan faidah-faidahnya diambil dari Fiqhul Islam Syarhu Bulughi al Maram, karya Syaikh ‘Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd, 3/154-156.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2625-bolehkah-suami-memakan-gaji-isteri.html